A. Konsep/Teori yang Relevan dengan Berbagai
Masalah Kesejahteraan Sosial
Ilmu
pekerjaan sosial berhubungan erat dengan kesejahteraan sosial. Hal tersebut
dapat dilihat dari individu
yang bermasalah sosial berarti mereka belum dapat dikatakan sejahtera dalam
bidang kesejahteraan sosialnya. Berkaitan dengan masalah-masalah di bidang kesejahteraan
sosial, maka di bawah ini akan dijelaskan beberapa definisi mengenai pengertian
pekerjaan sosial, masalah sosial, dan juga tentang kesejahteraan sosial.
Pekerjaan sosial
adalah suatu profesi yang mempunyai bidang garapan tersendiri. Berbeda dan lain
halnya dengan profesi lain seperti psikolog, dokter, dan sosiolog. Ada beberapa definisi pekerjaan sosial menurut para ahli,
yaitu :
a. Pekerjaan Sosial didefinisikan sebagai metode yang
bersifat sosial dan institusional untuk membantu seseorang mencegah dan
memecahkan masalah-masalah sosial yang mereka hadapi, untuk memulihkan dan
meningkatkan kemampuan menjalankan fungsi sosial mereka. Pekerjaan sosial juga
dapat dikatakan sebagai institusi sosial, profesi pelayanan manusia serta seni
praktek yang ilmiah dan teknis (Max Siporin dalam Dwi Heru Sukoco, 1995).
b. Pekerjaan sosial menekankan pada interaksi antara orang
dengan lingkungan sosialnya yang mempengaruhi kemampuan orang untuk
menyelesaikan tugas-tugas kehidupannya, meringankan stress, mewujudkan aspirasi
dan nilai-nilainya (Allen Pincus dan Anne Minahan dalam Achlis, 1986).
c. Pekerjaan Sosial adalah suatu pelayanan profesional yang
dilaksanakan pada ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam relasi kemanusiaan
yang bertujuan untuk membantu, baik secara perseorangan maupun kelompok untuk
mencapai kepuasan dan ketidaktergantungan pribadi dan sosial (Walter A. Friedlander dalam Syarif Muhidin, 1982).
Berdasarkan
beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pekerjaan sosial
adalah suatu profesi yang membantu meningkatkan keberfungsian sosial (social
functioning) seseorang melalui pemecahan/intervensi masalah yang
dihadapinya.
Masalah atau problema
adalah perbedaan antara das sollen
(yang seharusnya, yang diinginkan, yang dicita-citakan, yang diharapkan) dengan
das sein (yang nyata, yang terjadi).
Dengan kata lain masalah adalah perbedaan antara yang ideal dan real (Abu Huraerah,
2008), menurut Horton dan Leslie dalam Suharto (2000) ”masalah
sosial adalah suatu kondisi yang dirasakan banyak orang yang tidak menyenangkan
serta menuntut pemecahan aksi sosial secara kolektif.”
Parillo yang dikutip Edi Suharto (2005) dalam ”Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian
Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial,” empat komponen
dalam memahami pengertian masalah sosial, yaitu :
a.
Masalah itu bertahan untuk suatu periode
tertentu.
b.
Dirasakan dapat menyebabkan berbagai kerugian
fisik atau mental, baik pada individu maupun masyarakat.
c. Merupakan
pelanggaran terhadap nilai-nilai atau standar sosial dari satu atau beberapa
sendi kehidupan masyarakat.
d. Menimbulkan
kebutuhan akan pemecahan.
Lebih
lanjut dijelaskan tentang karakteristik dari masalah sosial antara lain :
a. Masalah
adalah perbedaan antara harapan dan kenyataan ; suatu masalah sosial baru
dikatakan masalah, apabila kondisi yang dirasakan tidak sesuai harapan
masyarakat.
b. Kondisi
sosial yang dinilai tidak menyenangkan ; penilaian masyarakat sangat penting
dalam menentukan suatu kondisi sebagai masalah sosial, sementara ukuran baik
buruk sangat tergantung pada nilai atau norma yang dianut masyarakat.
c. Masalah
sosial adalah perilaku atau keadaan kompleks yang akibatnya berpengaruh pada
membahayakan kesejahteraan orang banyak (umum) serta dapat mengganggu
kestabilan masyarakat, norma, adat istiadat, norma dan kepercayaan masyarakat.
d. Kondisi
yang menuntut pemecahan. Bagaimana pun beratnya suatu masalah sosial, pasti
membutuhkan pemecahan secara kolektif sesuai dengan kebutuhan permasalahan,
atau pemecahan tersebut harus dilakukan melalui aksi sosial secara kolektif.
Masalah sosial
merupakan gejala-gejala sosial yang tidak diinginkan akibat ketidakberfungsian
dari unsur-unsur masyarakat yang menyebabkan kekecewaan dan penderitaan.
Masalah masyarakat dan problema sosial adalah dua macam persoalan dalam masalah
sosial. Timbulnya masalah sosial adalah dari kekurangan dalam diri manusia
kelompok sosial yang bersumber pada faktor ekonomis, biologis dan kebudayaan.
Sehingga setiap masyarakat mempunyai norma yang berhubungan dengan
kesejahteraan kebendaan, kesehatan fisik, mental serta penyesuaian diri
individu atau kelompok sosial.
Ada beberapa
definisi kesejahteraan sosial menurut para ahli, yaitu:
a.
Menurut
Walter A. Friedlander, 1961 dalam Pengantar Kesejahteraan Sosial oleh Drs.
Syarif Muhidin, Msc. “Kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisir dari
pelayanan-pelayanan sosial dan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk membantu
individu dan kelompok untuk mencapai standar hidup dan kesehatan yang memuaskan
dan relasi-relasi pribadi dan sosial yang memungkinkan mereka mengembangkan
kemampuannya sepenuh mungkin dan meningkatkan kesejahteraannya secara selaras
dengan kebutuhan keluarga dan masyarakat.”
b.
Menurut Dwi Heru Sukoco, 1995 dari buku Introduction to Social Work Practice oleh Max Siporin. “Kesejahteraan sosial mencakup
semua bentuk intervensi sosial
yang secara pokok dan langsung untuk meningkatkan keadaan yang baik antara
individu dan masyarakat secara keseluruan. Kesejahteraan sosial mencakup semua tindakan dan
proses secara langsung yang mencakup tindakan dan pencegahan masalah sosial, pengembangan sumber daya
manusia dan peningkatan kualitas hidup.”
c.
Kesejahteraan sosial adalah sebuah
sistem yang meliputi program dan pelayanan yang membantu orang agar dapat
memenuhi kebutuhan sosial, ekonomi, pendidikan dan kesehatan yang sangat
mendasar untuk memelihara masyarakat (Zastrow, 2000).
d.
Sebagaimana batasan PBB, kesejahteraan
sosial adalah kegiatan-kegiatan yang terorganisasi yang betujuan untuk membantu
individu atau masyarakat guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan
meningkatkan kesejahteraan selaras dengan kepentingan keluarga dan masyarakat
(Suharto, 2005).
Setelah membaca
beberapa definisi tentang kesejahteraan sosial di atas di atas, dapat
disimpulkan bahwa kesejahteraan sosial
adalah suatu tindakan yang mengarah kepada kondisi sosial masyarakat yang
menjamin kehidupan masyarakat dalam lingkungan untuk hidup dengan rasa nyaman,
aman, dan tentram untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Pembangunan
pun merupakan suatu konsep yang relevan dengan pemecahan permasalahan sosial.
Pembangunan juga harus memperhatikan berbagai aspek-aspek sosial dan ekonomi
penduduk, pemanfaatan sumber daya alam maupun pengelolaan lingkungan. Menurut
Departemen Sosial Republik Indonesia (2003) dalam Pola Pembangunan
Kesejahteraan Sosial meliputi:
a. Hakikat pembangunan
kesejahteraan sosial adalah upaya peningkatan kualitas kesejahteraan sosial
perorangan, keluarga, kelompok dan komunitas yang memiliki harkat dan martabat,
dimana setiap orang mampu mengambil peran dan menjalankan fungsinya dalam
kehidupan.
b. Pembangunan kesejahteraan sosial pada dasarnya ditujukan
untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial masyarakat sebaik-baiknya dalam
upaya menciptakan suatu kondisi tata kehidupan sosial yang diliputi rasa
keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin sehingga memungkinkan
setiap warga masyarakat memenuhi kebutuhan jasmani, rohani dan sosialnya secara
layak bagi individu, keluarga maupun masyarakat.
Arah pembangunan
kesejahteraan sosial adalah seperti yang tertuang di bawah ini :
a.
Pencegahan,
mencakup kegiatan mencegah timbul, meluas serta kambuhnya permasalahan baik
dalam kehidupan perorangan, keluarga, kelompok maupun masyarakat.
b.
Rehabilitasi,
merupakan proses refungsionalisasi dan pemantapan taraf kesejahteraan sosial
untuk memungkinkan para PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) mampu
melaksanakan kembali fungsi sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
c.
Pengembangan,
merupakan upaya pemeliharaan dan peningkatan taraf kesejahteraan sosial para
PMKS melalui penggalian dan pendayagunaan potensi dirinya.
d.
Penunjang,
merupakan fungsi pendorong dan pendukung yang turut menentukan keberhasilan
pembangunan.
Pembangunan
kesejahteraan sosial dirancang guna
memenuhi kebutuhan publik yang luas, target utamanya adalah pemerlu pelayanan
kesejahteraan sosial (PPKS), yaitu mereka yang mengalami hambatan dalam
menjalani fungsi sosialnya, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan yang paling
mendasar dan karenanya memerlukan pelayanan sosial.
Tujuan
Pembangunan Kesejahteraan Sosial (PKS) adalah untuk meningkatkan kualitas hidup
manusia secara menyeluruh yang mencakup:
a.
Peningkatan standar hidup, melalui
seperangkat pelayanan sosial dan jaminan sosial segenap lapisan masyarakat,
terutama kelompok-kelompok masyarakat yang kurang beruntung dan rentan yang
sangat memerlukan perlindungan sosial.
b.
Peningkatan keberdayaan melalui
penepatan sistem
dan kelembagaan ekonomi, sosial dan politik yang menjunjung harga diri dan
martabat kemanusiaan.
c.
Penyempurnaan kebebasan melalui
perluasan aksesibilitas dan pilihan-pilihan kesempatan sesuai dengan aspirasi,
kemampuan dan standar kemanusiaan.
B.
Indikator Masalah Kesejahteraan Sosial
Menurut PUSDATIN Depsos RI tahun 2008 merujuk pada Buku Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial (PMKS) Tahun 2008. Pemerlu
Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) adalah seseorang, keluarga atau
kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan, atau gangguan tidak
dapat melaksanakan fungsi sosialnya sehingga tidak terpenuhi kebutuhan hidupnya
baik jasmani, rohani, maupun sosial secara memadai dan wajar. Hambatan,
kesulitan, atau gangguan tersebut dapat berupa kemiskinan, ketelantaran,
kecacatan, ketunaan sosial, keterbelakangan, keterasingan/ketertinggalan, dan
bencana alam maupun bencana sosial.
Menurut Kementerian Sosial saat ini terdapat 22 jenis Pemerlu
Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS),
yaitu sebagai berikut:
1. Anak Balita Telantar
Anak berusia 0-4 tahun yang karena sebab tertentu,
orangtuanya tidak dapat melakukan kewajibannya (karena beberapa kemungkinan :
miskin/tidak mampu, salah seorang sakit, salah seorang/kedua-duanya meninggal,
anak balita sakit) sehingga terganggu kelangsungan hidup, pertumbuhan dan
perkembangannya baik secara jasmani, rohani maupun sosial.
Indikator :
a.
Anak
(laki – laki/perempuan) usia 0 – 4 tahun.
b.
Tidak
terpenuhinya kebutuhan dasarnya atau balita yang tidak pernah mendapat ASI/susu
pengganti atau balita yang tidak mendapat makanan bergizi (4 sehat 5 sempurna)
2x dalam satu minggu atau balita yang tidak mempunyai sandang yang layak sesuai
dengan kebutuhannya.
c.
Yatim
piatu atau tidak dipelihara, ditinggalkan oleh orangtuanya pada orang lain, di
tempat umum, rumah sakit, dsb.
d.
Apabila
sakit tidak mempunyai akses kesehatan modern (dibawa ke Puskesmas dan
lain–lain).
2.
Anak Telantar
Anak yang berusia 5-18
tahun yang karena sebab tertentu (karena beberapa kemungkinan : miskin/tidak
mampu, salah seorang dari orang tuanya/wali pengampu sakit, salah seorang/kedua
orang tuanya/wali pengampu atau pengasuh
meninggal, keluarga tidak harmonis, tidak ada pengampu atau pengasuh), sehingga
tidak dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar baik secara jasmani,
rohani maupun sosial.
Indikator :
a.
Anak
(Laki-laki/perempuan) usia 5 – 18 tahun.
b.
Anak
yatim, piatu, yatim piatu.
c.
Tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.
d.
Anak yang lahir karena tindak perkosaan,
tidak ada yang mengurus dan tidak mendapat pendidikan.
3.
Anak
Nakal
Anak yang berusia
5-18 tahun yang berperilaku menyimpang dari norma dan kebiasaan yang berlaku
dalam masyarakat, lingkungannya sehingga merugikan dirinya, keluarganya dan
orang lain, akan mengganggu ketertiban umum, akan tetapi (karena usia) belum
dapat dituntut secara hukum.
Indikator :
a. Anak (laki – laki/perempuan) usia 8 sampai
kurang dari 18 tahun dan belum menikah.
b. Melakukan perbuatan (secara berulang) yang
menyimpang atau melanggar norma masyarakat seperti :
1)
Sering
bolos sekolah.
2)
Sering
bohong, ingkar/menipu.
3)
Sering
mencuri di lingkungan keluarga.
4)
Sering
merusak barang/peralatan/sarana umum.
5)
Sering
mengganggu orang lain, memancing keributan atau perkelahian.
6)
Sering
meminta uang/barang dengan paksa.
7)
Perokok
dan peminum.
8)
Melakukan
perkelahian massal (tawuran)
9)
Melakukan
tindak kriminal seperti perjudian, penodongan, perampokan, penjarahan,
pemerkosaan, penganiayaan, pembunuhan dan pelacuran (membayar/dibayar).
4. Anak Jalanan
Anak yang berusia 5-18 tahun yang menghabiskan sebagian
besar waktunya untuk mencari nafkah dan atau berkeliaran di jalanan maupun di tempat – tempat umum.
Indikator :
a.
Anak
(laki-laki/perempuan) usia 5 – 18 tahun.
b.
Melakukan
kegiatan tidak menentu, tidak jelas kegiatannya dan atau berkeliaran di jalanan
atau di tempat umum minimal 4 jam/hari dalam kurun waktu 1 bulan yang lalu,
seperti pedagang asongan, pengamen, ojek payung, pengelap mobil, pembawa
belanjaan di pasar dan lain – lain.
c.
Kegiatannya
dapat membahayakan dirinya sendiri atau mengganggu ketertiban umum.
5. Wanita
Rawan Sosial Ekonomi
WRSE (Wanita
Rawan Sosial Ekonomi) adalah Seorang wanita dewasa belum menikah atau janda yang tidak
mempunyai penghasilan cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. (Keputusan
Menteri Sosial Nomor. 24/HUK/1996).
Indikator:
a.
Wanita usia 18 - 59 tahun.
b.
Berpenghasilan kurang atau tidak
mencukupi untuk kebutuhan fisik minimum (sesuai kriteria fakir miskin).
c.
Tingkat pendidikan rendah (umumnya tidak
tamat/maksimal pendidikan dasar).
d.
Isteri yang ditinggal suami tanpa batas
waktu dan tidak dapat mencari nafkah.
e.
Sakit sehingga tidak mampu bekerja.
6.
Korban
Tindak Kekerasan
Wanita yang
terancam secara fisik atau non fisik (psikologis) karena tindak kekerasan,
diperlakukan salah atau tidak semestinya dalam lingkungan keluarga atau
lingkungan sosial terdekatnya.
Indikator :
a.
Wanita
usia 18–59 tahun atau kurang dari 18 tahun tetapi sudah menikah.
b.
Tidak
diberi nafkah atau tidak boleh mencari nafkah.
c.
Diperlakukan
secara keras, kasar dan kejam (dipukul, disiksa) dalam keluarga.
d.
Diancam
secara fisik dan psikologis (diteror, ditakut-takuti, disekap) dalam keluarga
atau di tempat umum.
e.
Mengalami
pelecehan seksual (di kantor, di RT, di tempat umum antara lain diperkosa atau
dipaksa menjual diri/dieksploitir).
7.
Lanjut
Usia Telantar
Setiap orang
berhubung lanjut usia (60 tahun keatas) tidak mempunyai/berdaya mencari nafkah
untuk keperluan pokok bagi kehidupan sehari-hari. (UU Nomor 13 tahun 1998).Seseorang
yang berusia 60 tahun atau lebih karena faktor-faktor tertentu tidak dapat
memenuhi kebutuhan dasarnya baik secara jasmani, rohani maupun sosialnya.
Indikator :
a.
Usia
60 tahun ke atas (laki-laki/perempuan).
b.
Tidak
sekolah/tidak tamat/tamat SD.
c.
Makan 2 x perhari.
d.
Makan-makanan
berprotein tinggi (4 sehat 5 sempurna)
e.
Pakaian
yang dimiliki kurang dari 4 stel.
f.
Tempat tidur tidak tetap.
g.
Jika
sakit tidak mampu berobat ke fasilitas kesehatan.
h.
Ada
atau tidak ada keluarga, sanak saudara atau orang lain yang mau dan mampu
mengurusnya.
8. Penyandang Cacat
Setiap orang yang
mempunyai kelainan fisik dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan
rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan
secara layaknya yang
terdiri dari ; a. Penyandang cacat fisik, b. Penyandang cacat mental,
dan c. Penyandang cacat fisik dan mental (UU Nomor 4 tahun 1997).
a. Penyandang Cacat Fisik
1)
Penyandang Cacat Tubuh
Seseorang
yang menderita kelainan pada tulang dan atau sendi anggota gerak dan tubuh,
kelumpuhan pada anggota gerak dan tulang, tidak lengkapnya anggota gerak atas
dan bawah, sehingga menimbulkan gangguan atau menjadi lambat untuk melakukan
kegiatan sehari-hari secara layak/wajar.
Indikator :
a)
Anggota tubuh tidak lengkap
putus/amputasi tungkai, lengan atau kaki.
b)
Cacat tulang/persendian.
c)
Cacat
sendi otot dan tungkai, lengan atau kaki.
d)
Lumpuh.
2) Penyandang
Cacat Mata (Tuna Netra)
Seseorang
yang buta kedua matanya atau kurang awas
(low vision) sehingga menjadi hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari
secara layak/wajar.
Indikator :
a)
Buta
total (buta kedua mata).
b)
Masih
mempunyai sisa penglihatan atau kurang awas (low
vision).
3)
Penyandang
Cacat Rungu/Wicara
Seseorang
yang tidak dapat mendengar dan berbicara dengan baik sehingga menjadi hambatan
dalam melakukan kegiatan sehari-hari secara layak/wajar.
Indikator :
a)
Tidak dapat mendengar atau memahami
perkataan yang disampaikan pada jarak 1
meter tanpa alat bantu dengar.
b)
Tidak dapat bicara sama sekali atau
berbicara tidak jelas (pembicaraannya tidak dapat dimengerti).
c)
Mengalami hambatan atau kesulitan dalam
berkomunikasi dengan orang lain.
b.
Penyandang
Cacat Mental.
Seseorang yang menderita kelainan mental/jiwa
sehingga orang tersebut tidak bisa mempelajari dan melakukan perbuatan yang
umum dilakukan orang lain seusianya atau yang tidak dapat mengikuti perilaku
biasa sehingga menjadi hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari secara
layak/wajar.
Penyandang Cacat
Mental terdiri dari :
1)
Penyandang
Cacat Mental Eks Psikotik
a)
Eks Penderita penyakit gila.
b)
Kadang
masih mengalami kelainan tingkah laku.
c)
Sering mengganggu orang lain.
2)
Penyandang
Cacat Mental Retardasi
a)
Idiot : kemampuan mental dan tingkah
lakunya setingkat dengan anak normal usia 2 tahun, wajahnya terlihat seperti
wajah dungu.
b)
Embisil : kemampuan mental dan tingkah
lakunya setingkat dengan anak normal usia 3-7 tahun.
c)
Debil
: kemampuan mental dan tingkah lakunya setingkat dengan anak normal usia
8-12 tahun.
3)
Penyandang
Cacat Fisik dan Mental/Ganda
Seseorang
yang menderita kelainan fisik dan mental sekaligus atau cacat ganda seperti
gangguan pada fungsi tubuh, penglihatan, pendengaran dan kemampuan berbicara
serta mempunyai kelainan mental atau tingkah laku, sehingga yang bersangkutan
tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari secara layak/wajar.
9.
Tuna
Susila
Seseorang yang melakukan hubungan seksual dengan sesama
atau lawan jenisnya secara berulang-ulang dan bergantian di luar perkawinan
yang sah dengan tujuan mendapatkan imbalan uang, materi atau jasa.
Indikator :
a.
Seseorang
(laki-laki/perempuan) usia 18 – 59 tahun.
b.
Menjajakan
diri di tempat umum, di lokasi atau tempat pelacuran (bordil) dan tempat
terselubung (warung remang-remang, hotel, mall dan diskotik).
10. Pengemis
Orang-orang yang
mendapat penghasilan dengan meminta-minta di tempat umum dengan berbagai cara
dan alasan untuk mengharapkan belas
kasihan orang lain.
Indikator :
a.
Anak
sampai usia dewasa (laki-laki/perempuan) usia 18-59 tahun.
b.
Meminta-minta
di rumah-rumah penduduk, pertokoan, persimpangan jalan (lampu lalu lintas),
pasar, tempat ibadah dan tempat umum lainnya.
c.
Bertingkah
laku untuk mendapatkan belas kasihan berpura-pura sakit, merintih dan
kadang-kadang mendoakan dengan bacaan-bacaan ayat suci, sumbangan untuk
organisasi tertentu.
d.
Biasanya
mempunyai tempat tinggal tertentu atau tetap, membaur dengan penduduk pada
umumnya.
11. Gelandangan
Orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai
dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak
mempunyai pencaharian dan tempat tinggal yang tetap serta mengembara di tempat umum.
Indikator :
a.
Anak sampai usia dewasa
(laki-laki/perempuan) usia 18-59 tahun, tinggal di sembarang tempat dan hidup
mengembara atau menggelandang di
tempat-tempat
umum, biasanya di kota-kota
besar.
b.
Tidak mempunyai tanda pengenal atau
identitas diri, berperilaku kehidupan bebas/liar, terlepas dari norma kehidupan
masyarakat pada umumnya.
c.
Tidak
mempunyai pekerjaan tetap, meminta-minta atau mengambil sisa makanan atau
barang bekas dan lain-lain.
12. Bekas
Warga Binaan Lembaga Kemasyarakatan (BWBLK)
Seseorang yang
telah selesai atau dalam 3 bulan segera mengakhiri masa hukuman atau masa
pidananya sesuai dengan keputusan pengadilan dan mengalami hambatan untuk
menyesuaikan diri kembali dalam kehidupan masyarakat, sehingga mendapatkan
kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan atau melaksanakan kehidupannya secara
normal
Indikator :
a.
Usia
18 tahun sampai usia dewasa.
b.
Telah
selesai atau segera keluar dari penjara karena masalah pidana.
c.
Kurang
diterima/dijauhi atau diabaikan oleh keluarga dan masyarakat.
13. Korban
Penyalahgunaan NAPZA
Seseorang yang menggunakan narkotika, psikotropika
dan zat-zat adiktif lainnya termasuk minuman keras di luar tujuan pengobatan atau tanpa
sepengetahuan dokter yang berwenang.
Indikator :
a.
Usia
10 tahun sampai usia dewasa.
b.
Pernah
menyalahgunakan narkotika, psikotropika dan zat-zat adiktif lainnya termasuk
minuman keras, yang dilakukan sekali, lebih sekali atau dalam taraf coba-coba.
c.
Secara
medik sudah dinyatakan bebas dari ketergantungan obat oleh dokter yang
berwenang.
14.
Keluarga
Fakir Miskin
Orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata
pencaharian dan tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan yang layak
bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak
dapat memenuhi kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan. (PP No. 42 tahun 1981).
Seseorang atau kepala keluarga yang sama sekali
tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan atau tidak mempunyai kemampuan
untuk memenuhi kebutuhan pokok atau orang yang mempunyai sumber mata
pencaharian akan tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok keluarga yang
layak bagi kemanusiaan.
Indikator :
a.
Seorang
kepala keluarga usia 18-59 tahun.
b.
Penghasilan
rendah atau berada di bawah garis kemiskinan seperti tercermin dari tingkat
pengeluaran perbulan, yaitu Rp. 62.000,- untuk perkotaan, dan Rp. 50.090,-
untuk pedesaan (tahun 2000) per orang per bulan.
c.
Tingkat
pendidikan pada umumnya rendah : tidak tamat SLTP, tidak ada ketrampilan
tambahan.
d.
Derajat
kesehatan dan gizi rendah.
e.
Tidak
memiliki tempat tinggal yang layak huni, termasuk tidak memiliki MCK.
f.
Pemilikan
harta sangat terbatas jumlah atau nilainya.
g.
Hubungan
sosial terbatas, belum banyak terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan.
h.
Akses informasi terbatas (baca koran,
radio).
15.
Keluarga
Berumah Tidak Layak Huni
Keluarga yang kondisi perumahan dan lingkungannya
tidak memenuhi persyaratan yang layak untuk tempat tinggal baik secara fisik,
kesehatan maupun sosial.
a. Kondisi Rumah :
1)
Luas
lantai per kapita kota < 4m2, desa < 10 m2.
2)
Sumber air tidak sehat, akses memperoleh
air bersih terbatas.
3)
Tidak mempunyai akses MCK.
4)
Bahan bangunan tidak permanen atau
atap/dinding dari bambu, rumbia.
5)
Tidak
memiliki pencahayaan matahari dan ventilasi udara.
6)
Tidak memiliki pembagian ruangan.
7)
Lantai
dari tanah dan rumah lembab atau pengap.
8)
Letak
rumah tidak teratur dan berdempetan.
9)
Kondisi rusak.
b. Kondisi Lingkungan :
1)
Lingkungan kumuh dan becek.
2)
Saluran pembuangan air tidak memenuhi
standar.
3)
Jalan setapak tidak teratur.
c. Kondisi Keluarga :
1)
Kebanyakan keluarga miskin usia 18-59
tahun, pengeluaran biaya hidup tidak melebihi Rp. 62.000,-
untuk perkotaan, dan Rp. 50.090,- untuk pedesaan (tahun 2000) per orang per
bulan.
2)
Kesadaran untuk ikut serta memiliki dan
memelihara lingkungan pada umumnya rendah (ikut bersih kampung, ikut kerja
bakti, membuang sampah sembarangan di sungai).
16.
Keluarga
Bermasalah Sosial Psikologis
Keluarga yang hubungan antar anggota keluarganya
terutama hubungan antara suami isteri kurang serasi, sehingga tugas dan fungsi
keluarga tidak dapat berjalan dengan wajar.
Indikator :
a.
Suami
atau isteri sering tanpa saling memperhatikan atau anggota keluarga kurang
berkomunikasi.
b.
Suami
dan isteri sering saling bertengkar, hidup sendiri-sendiri walapun masih dalam
ikatan keluarga.
c.
Hubungan
dengan tetangga kurang baik, sering bertengkar, tidak mau
bergaul/berkomunikasi.
d.
Kebutuhan
anak baik jasmani, rohani maupun sosial kurang terpenuhi.
17.
Komunitas
Adat Terpencil
Kelompok orang yang hidup dalam kesatuan-kesatuan
sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum
terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik
nasional. (SK Mensos No. 60/HUK/1998).
Kelompok orang/masyarakat yang hidup dalam
kesatuan-kesatuan kecil yang bersifat lokal dan terpencil dan masih sangat
terikat pada sumber daya
alam dan habitatnya yang secara sosial budaya terasing dan terbelakang
dibanding dengan masyarakat Indonesia pada umumnya sehingga memerlukan
pemberdayaan dalam menghadapi perubahan lingkungan dalam arti luas.
Indikator :
a. Hidup dalam kesatuan-kesatuan sosial yang
bersifat lokal dan terpencil.
1)
Berbentuk
komunitas kecil, tertutup dan homogen.
2)
Pranata
sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan.
3)
Pada
umumnya secara geografis terpencil dan relatif sulit dijangkau atau terisolasi.
b. Kehidupan dan penghidupannya masih sangat
sederhana
1)
Pada
umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi subsistens (hanya untuk kepentingan sendiri) belum untuk
kepentingan pasar.
2)
Peralatan
dan teknologi sederhana, misalnya peralatan rumah tangga.
3)
Ketergantungan
pada lingkungan hidup dan sumberdaya alam setempat relatif tinggi.
4)
Terbatasnya
akses pelayanan sosial, ekonomi dan politik.
5)
Secara
sosial budaya terasing dan atau terbelakang.
18. Korban Bencana Alam
Perorangan, keluarga atau kelompok masyarakat yang
menderita baik secara fisik, mental maupun sosial ekonomi akibat terjadinya
bencana alam atau musibah lainnya yang menyebabkan mereka mengalami hambatan
dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya.
Termasuk dalam korban bencana adalah :
a.
Korban bencana gempa bumi tektonik
letusan gunung berapi, tanah longsor, banjir, gelombang pasang atau tsunami,
angin kencang, kekeringan dan kebakaran hutan atau lahan.
b.
Korban kebakaran pemukiman, kecelakaan
kapal terbang, kereta api dan
lain-lain, musibah industri (kecelakaan kerja), kekacauan
atau kerusuhan sosial dan kecelakaan perahu.
c.
Orang terlantar dalam perjalanan seperti
orang Indonesia yang terlantar di luar negeri, TKI yang terlantar, pelintas
batas, orang-orang Indonesia yang masuk negara lain tanpa izin dan harus
dipulangkan ke Indonesia.
d.
Korban wabah penyakit.
Indikator :
a.
Kehilangan tempat tinggal sehingga
mereka ditampung sementara atau diasramakan di tempat pengungsian atau
menumpang dirumah keluarga/kerabat.
b.
Kehilangan sumber mata pencaharian
sehingga mengalami hambatan dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya.
c.
Kehilangan kepala atau anggota keluarga
yang merupakan sumber pencari nafkah utama untuk anggota keluarga lainnya.
d.
Kehilangan harta benda.
e.
Kondisi mental kurang stabil, emosional
atau stress.
19. Korban Bencana Sosial atau
Pengungsi
Perorangan, keluarga atau kelompok masyarakat yang
menderita baik secara fisik, mental maupun sosial ekonomi akibat terjadinya
bencana sosial atau kerusakan yang menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam
melaksanakan tugas-tugas kehidupannya.
Indikator :
a.
Korban
musibah, kekacauan atau kerusuhan sosial
b.
Korban wabah penyakit
20.
Pekerja
Migran Telantar
Seseorang
yang bekerja di luar tempat asalnya dan menetap sementara di tempat tersebut
dan potensial mengalami permasalahan sosial.
Indikator :
Orang
terlantar dalam perjalanan seperti orang Indonesia yang terlantar di luar
negri, TKI yang terlantar, pelintas batas, orang-orang Indonesia yang masuk
negara lain tanpa izin dan harus dipulangkan ke Indonesia.
21. Orang
dengan HIV/AIDS (ODHA)
ODHA adalah
seseorang yang dengan rekomendasi profesional/petugas laboratorium terbukti
tertular virus HIV sehingga mengalami sindrom penurunan daya tahan tubuh (AIDS).
22. Keluarga Rentan
Keluarga Rentan adalah
keluarga muda yang baru menikah (sampai dengan lima tahun usia pernikahan) yang
mengalami masalah sosial dan ekonomi (berpenghasilan sekitar 10% di atas garis
kemiskinan) sehingga kurang mampu memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Adalah
keluarga yang masih berkategori tidak bermasalah, namun jika tidak diberdayakan
melalui bimbingan sosial akan mengalami masalah tertentu. Keluarga rentan tersebut berada
pada batas marginal dan menjadi rentan terhadap masalah sosial lainnya.
C. Kebijakan Penanganan Masalah Kesejahteraan
Sosial
Kebijakan merupakan suatu prinsip atau tindakan yang diambil untuk dapat
menyelesaikan suatu permasalahan, baik yang dialami oleh perorangan, kelompok
maupun masyarakat. Kebijakan terkadang diambil karena suatu kondisi atau situasi
masalah yang memerlukan suatu tindakan atau penanganan secepat mungkin.
1.
Pengertian
Kebijakan
Menurut Ealau dan Prewitt, kebijakan adalah sebuah
ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan
berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena
kebijakan itu) (Suharto, 1997). Kamus Webster memberi pengertian kebijakan
sebagai prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan
keputusan. Titmuss mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang
mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu (Suharto, 1997).
Kebijakan, menurut Titmuss, senantiasa berorientasi
kepada masalah (problem-oriented) dan
berorientasi kepada tindakan (action-oriented).
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan
yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat
secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
Kaitan
kebijakan dengan program pelayanan sosial adalah kebijakan sosial harus dapat
diterima oleh masyarakat, karena pada dasarnya kebijakan dibuat untuk dapat
mengatasi masalah sosial yang ada pada masyarakat. Harus juga diingat bahwa
kebijakan meliputi: kebijakan sosial, kebijakan kesejahteraan sosial, dan
kebijakan publik.
a.
Kebijakan Sosial
Dalam kaitannya dengan
kebijakan sosial, maka kata sosial dapat diartikan baik secara luas maupun
sempit (Kartasasmita, 1996). Secara luas kata sosial menunjuk pada pengertian
umum mengenai bidang-bidang atau sektor-sektor pembangunan yang menyangkut
aspek manusia dalam konteks masyarakat atau kolektifitas. Istilah sosial dalam
pengertian ini mencakup antara lain bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan,
politik, hukum, budaya, atau pertanian.
Bruce. S Jansson
mendefinisikan kebijakan sosial adalah mengendalikan sasaran pemecahan masalah
yang menyangkut keuntungan orang banyak. Hal ini menekankan bahwa kebijakan
sosial bertujuan untuk mengurangi masalah sosial seperti kelaparan, kemiskinan,
dan guncangan jiwa. Atau kebijakan sosial dapat pula di definisikan sebagai
kumpulan strategi untuk memusatkan perhatian pada problem sosial.
Schorr dan Baumheir,
menggunakan definisi kebijakan sosial yaitu suatu prinsip dan cara melakukan
suatu tindakan kesepakatan di suatu tataran dengan individu dan juga menjalin
hubungan dengan masyarakat. Hal ini menjadikan suatu pemikiran dalam melakukan
intervensi (keterlibatan) dari peraturan yang berbeda dengan sistem sosial.
Menetapkan suatu kebijakan sosial haruslah menunjukkan tata cara bagaimana
proses penerapannya dalam menghadapi suatu fenomena sosial, hubungan sosial
pemerintah dalam mendistribusikan penghasilan dalam suatu masyarakat.
Dalam perjalanan,
penyusunan, perancangan, dan penerapannya, kebijakan sosial meliputi 4 (empat)
tingkatan aktivitas profesi :
1) Melihat aktivitas di suatu tataran dengan merespon
untuk membuat suatu kebijakan sosial yang melihat dari penetapannya terhadap
suatu undang-undang, mengartikannya dengan menjadikan sebagai suatu kebijakan
yang dilindungi oleh hukum, membuat keputusan pada bidang administrasi,
melaksanakan dan menerapkannya. Penentuan bidang ini dilakukan oleh pengambil
kebijakan yaitu pemerintah
2) Melihat bentuk pelayanan dan sebagai penasihat secara
teknis tentang suatu kebijakan, atau sebagai konsultan yang mengkhususkan dalam
suatu lapangan yang berkepentingan. Bidang ini merupakan wewenang di tingkatan
legislatif pada suatu negara demokrasi.
3) Meneliti dan menginvestigasi problema sosial dan
mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan kebijakan sosial. Bidang ini dilakukan oleh para pekerja sosial
4) Memberikan perlindungan atau advokasi secara khusus
terhadap suatu kebijakan dasar yang berkepentingan dengan suatu bidang. Bidang
ini merupakan kerja pihak LSM yang bergerak pada bidangnya misalkan LSM
lingkungan, LSM ekonomi, LSM politik, dan lain-lain.
Sehingga kesimpulan ringkas
yang dapat kita ambil dari adanya pembagian aktivitas yang secara tidak
langsung dapat bekerjasama mengambil suatu ketetapan dalam penerapan kebijakan
sosial, disini pihak pemerintah dapat dengan mudah menentukannya hal ini
disebabkan karena masing-masing pihak dapat memantau kebijakan yang dibuat
pemerintah dan mengawasi tindakan dalam penerapannya. Sehingga tingkat
pelanggaran yang nantinya akan terjadi dapat terdeteksi dan transparan.
Selain adanya tingkatan
aktivitas yang dilakukan pada bidangnya masing-masing, kebijakan sosial pun
memiliki 3 (tiga) tingkatan intervensi, yang tak jauh berbeda dengan tingkatan
aktivitas. Penjelasan ini menurut pembagian Bruce. S Jansson, di dalam Social
Policy,from Theory to Practice di antaranya:
1) Direct-service practice, yang berkaitan dengan pekerjaan para pelaksana
kebijakan
2) Community organization, yang membicarakan pada pengerahan kemampuan seperti
menghimpun koalisi
Suatu kebijakan yang telah
disusun, dirancang, dan disepakati sebelumnya haruslah meliputi dua aspek yang
harus diperhatikan, di antaranya ialah :
1) Mengaktualisasikan kebijakan dan program yang dibuat
untuk kesejahteraan masyarakat
2) Menyingkap dan memperlihatkan lapangan akademis dalam
penyelidikan yang ditekankan dengan deskripsi, uraian, dan evaluasi terhadap
suatu kebijakan.
Adanya aspek yang tertera di atas dimaksudkan agar masyarakat sebagai objek sasaran
kesejahteraan dapat memahami dan menerapkannya dengan baik. Begitu juga dengan
pemerintah dan semua perangkatnya haruslah memperhatikan bagaimana kinerja
tersebut berlangsung. Sehingga kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan dengan
baik.
Pemerintah dapat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat
melalui kebijakan yang telah disusun dan
diterapkan dapat ditempuh dengan 3 (tiga) langkah yang bila hal tersebut berjalan secara efektif
maka penerapannya akan sempurna. Ketiga langkah tersebut antara lain seperti
yang terdapat dalam The Handbook of Social Policy adalah :
1) Mereka (pemerintah) membuat kebijakan yang bersifat
spesifik dengan maksud untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Contoh :
pemerintah mungkin dapat saja mencoba untuk memperbaiki kondisi sosial
penduduknya dengan memperkenalkan bentuk program kebijakan yang baru.
2) Pemerintah mempengaruhi kesejahteraan sosial melalui
kebijakan sosial dengan melihatnya dari sisi ekonomi, lingkungan, atau
kebijakan lainnya, walaupun begitu mereka memiliki perhatian terhadap suatu
kondisi sosial. Contoh : kebijakan sosial dengan menambah hubungan relasi
perdagangan atau mengundang investor dari negara lain lalu menciptakan lapangan
pekerjaan baru dan membangkitkan pemasukan yang akan mempengaruhi kesejahteraan
masyarakat dengan melihat tumbuh suburnya jumlah investor perdagangan, dan
lain-lain.
3) Kebijakan sosial pemerintah yang mempengaruhi
kesejahteraan masyarakat secara tidak terduga dan tidak diharapkan. Suatu
kebijakan terfokus pada salah satu grup tetapi pada kenyataanya justru
mendatangkan keuntungan yang tidak terduga pada aspek yang lain.
b.
Kebijakan Kesejahteraan Sosial
Menurut Neil Gilbert dan Harry Specht (K. Suhendra,
1985 : 5), menjelaskan bahwa : Kebijakan
Kesejahteraan Sosial adalah keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan yang
memberikan informasi berupa petunjuk perencanaan atau petunjuk kegiatan kepada
pemerintah maupun lembaga sosial masyarakat.
Kebijakan
Kesejahteraan sosial dapat dijabarkan sebagai berikut ini :
1) Meningkatkan dan meratakan pelayanan sosial
yang lebih adil dalam arti bahwa setiap orang khususnya Pemerlu Pelayanan
Kesejahteraan Sosial (PPKS) berhak untuk memperoleh pelayanan sosial yang
sebaik-baiknya.
2) Meningkatkan profesionalisme pelayanan sosial
baik yang dilaksanakan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha terhadap Pemerlu
Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS), memantapkan manajemen pelayanan sosial
yang mencakup aspek perencanaan, pelaksanaan pemantauan, evaluasi dan pelaporan
serta koordinasi atau masyarakat dalam pelayanan sosial dengan melibatkan satu
unsur dan komponen masyarakat.
3) Mendukung terlaksananya kebijakan
desentralisasi dengan mempertimbangkan keunikan nilai sosial budaya daerah
serta mengedepankan potensi dan sumber sosial keluarga dan masyarakat setempat.
2.
Tujuan Kebijakan Sosial
a.
Membina,
menyelamatkan, memulihkan dan mengentaskan para Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan
Sosial (PPKS) agar dapat hidup dan berkembang secara wajar.
b.
Menggali
dan memanfaatkan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) dalam
pelaksanaan usaha kesejahteraan sosial dan peningkatan serta pemerataan
pelayanan sosial.
c.
Meningkatkan
keberdayaan sosial dan ekonomi masyarakat rentan, guna mendukung pemulihan
kehidupan ekonomi nasional.
d.
Meningkatkan
kualitas dan profesionalisme sumber daya manusia dalam jajaran pembangunan
kesejahteraan sosial.
e.
Mengembangkan
kepekaan, kepedulian, kesetiakawanan sosial, etika moral dan tanggung jawab
moral masyarakat.
3. Sasaran Kebijakan Sosial
a. Individu, kelompok dan masyarakat yang
menyandang masalah sosial.
b. Individu, kelompok dan masyarakat yang
dikhawatirkan akan menjadi penyandang masalah sosial.
c. Sumber dan potensi yang mendukung pelayanan
sosial.
d. Lembaga pemerintah dan swasta,
organisasi-organisasi sosial di masyarakat.
4. Pelayanan yang Berkaitan dengan Kebijakan Sosial
a. Program pemeliharaan pendapatan meliputi
jaminan sosial seperti lanjut usia kesehatan dan lain-lain.
b.
Pelayanan case work, group work, seperti konseling, pelayanan kesejahteraan anak dan
lan-lain.
c.
Program bantuan perumahan
bagi orang-orang yang pendapatannya menengah kebawah seperti perumnas (RSS).
d.
Bantuan pelayanan kesehatan
yang berhubungan dengan pelayan sosial lainnya.
e.
Progam pendidikan seperti
sekolah luar biasa dan penempatan pekerja sosial di sekolah.
f.
Pelayanan yang berorientasi
pada pekerjaan seperti training bagi PPKS, penyandang cacat, remaja putus
sekolah dan lain-lain.
5.
Landasan Pembangunan
Kesejahteraan Sosial
a. Landasan Idiil Pancasila mengarahkan agar semua pembangunan dan pelayanan
sosial harus merupakan penjabaran pengalaman dari sila dalam Pancasila.
b. Landasan Konstitutional
Undang-Undang Dasar 1945.
1)
UUD 1945 pasal 27 ayat 2,
bahwa tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.
2) UUD 1945 pasal 34 fakir miskin dan anak
terlantar dipelihara oleh negara.
c. Landasan Operasional Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004.
d. Landasan struktural berupa peraturan
perundang-undangan, antara lain:
1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita.
3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan.
4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak.
5)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1997 tentang Penyandang Cacat
6) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika.
7) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika.
8)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun
1999 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia.
9)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 Pasal 42 tentang Hak Asasi Manusia.
10)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182
Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan
Terburuk Untuk Anak.
11)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
12)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Otonomi Daerah.
13)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
6.
Program Prioritas Pelayanan antara lain:
Program
prioritas pembangunan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan oleh Kementerian
Sosial seperti program penanggulangan kemiskinan, penanggulangan keterlantaran,
pelayanan dan rehabilitasi cacat, ketunaan sosial dan penanggulangan bencana
termasuk pengungsi.
Sasaran
program dan kegiatan pelayanan dan rehabilitasi sosial seperti pelayanan
kesejahteraan anak, kesejahteraan sosial lanjut usia, rehabilitasi penyandang
cacat, rehabilitasi tuna sosial dan rehabilitasi sosial korban NAPZA.
Sasaran
program dan kegiatan lingkup dirjen bantuan dan jaminan sosial seperti bantuan
korban bencana seperti bencana alam termasuk kondisi rawan dan rentan bencana,
pengungsi, kecelakaan dan masyarakat dalam kondisi konflik.
Program
prioritas Kementerian Sosial oleh menteri sosial RI seperti program penanganan
fakir miskin di kota, pinggiran kota, di desa dan desa nelayan pantai.
Penanganannya melalui kelompok usaha bersama (KUBE) dan Adopsi Desa Miskin
(ADEM).
a. Kebijakan
Pembangunan Kesejahteraan Sosial
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial menyatakan bahwa kebijakan penyelenggaraan
kesejahteraan sosial meliputi:
1)
Rehabilitasi sosial, yang dimaksudkan untuk
memulihkan dan
mengembangkan kemampuan seseorang yang
mengalami
disfungsi sosial agar dapat melaksanakan
fungsi
sosialnya secara wajar
yang
dapat dilaksanakan secara persuasif,
motivatif,
koersif, baik dalam keluarga, masyarakat
maupun
panti sosial.
2)
Jaminan Sosial adalah skema yang
melembaga untuk menjamin
seluruh rakyat agar dapat memenuhi
kebutuhan
dasar hidupnya yang layak.
Jaminan
sosial diberikan dalam bentuk asuransi kesejahteraan sosial dan bantuan
langsung berkelanjutan.
3)
Pemberdayaan sosial yang dimaksudkan untuk memberdayakan
seseorang, keluarga, kelompok,dan masyarakat yang mengalami masalah kesejahteraan sosial agar mampu
memenuhi kebutuhannya secara mandiri juga meningkatkan peran serta lembaga
dan/atau perseorangan sebagai potensi dan
sumber daya dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Pemberdayaan
sosial tersebut dapat dilakukan
melalui:
a)
Peningkatan kemauan dan kemampuan;
b)
Penggalian potensi dan sumber daya;
c)
Penggalian nilai-nilai dasar;
d)
Pemberian akses; dan/atau
e)
Pemberian bantuan usaha.
4)
Perlindungan sosial, yaitu semua
upaya yang diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan
dan kerentanan sosial seseorang,
keluarga, kelompok, dan/atau
masyarakat agar kelangsungan hidupnya
dapat
dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar
minimal. Perlindungan sosial tersebut dilaksanakan melalui:
a)
Bantuan sosial;
b)
Advokasi sosial; dan/atau Bantuan hukum.
b. Pembangunan kesejahteraan sosial dilaksanakan
berdasarkan kebijakan sebagai berikut :
1) Pembangunan kesejahteraan sosial dilaksanakan
melalui usaha kesejahteraan sosial sebagai suatu sistem yang melembaga.
2) Usaha kesejahteraan sosial yang mencakup
semua program dan kegiatan yang ditunjukan untuk mewujudkan, membina,
memelihara, memulihkan dan mengembangkan kesejahteraan sosial dilaksanakan
sebagai tanggung jawab bersama masyarakat dan pemerintah.
3) Peningkatan kualitas dan efektifitas
pelayanan sosial.
4) Perluasan jangkuan pelayanan sosial yang
makin adil dan merata.
5) Peningkatan profesionalitas pelayanan sosial.
Baik yang diselenggarakan oleh masyarakat maupun pemerintah.
6) Pengutamaan fungsi pencegahan dan
pengembangan di samping fungsi rehabilitasi dan bantuan.
7) Pembinaan dan pengembangan keterpaduan dalam
kerja sama intra dan inter sektoral.
8) Pendayagunaan Potensi dan Sumber
Kesejahteraan Sosial dalam masyarakat.
D. Sistem Sumber Kesejahteraan Sosial
Max Siporin
D.S.W. mengatakan bahwa “A resource any
valuable thing, or recerve or at hand, that one can mobilie and put to
instrumental use in order to function, meet a need resolve a problem”
(Siporin, 1975 : 22). Lebih lanjut ia mengatakan bahwa jenis sumber dapat
dipandang dari beberapa hal, yaitu :
1) Sumber Internal
dan Eksternal
Sumber
internal dapat berupa kemampuan
intelektual, imaginasi, kreativitas, motivasi, kegairahan, karakter moral
kekuatan dan ketahanan fisik/jasmani, stamina, ketampanan/kecantikan serta
pengetahuan. Sedang sumber eksternal
dapat berupa harta kekayaan, prestise, mata pencaharian sanak-saudara yang
kaya, teman yang berpengaruh dan hak jaminan.
2) Sumber official/formal
dan sumber non-official/non-formal
Sumber official dapat berupa tokoh-tokoh formal,
organisasi-organisasi yang secara formal mewakili mayarakat seperti guru,
pekerja sosial, badan konseling, dan badan-badan sosial pemberdayaan. Sedang sumber non-offisial dapat berupa
dukungan emosional maupun sosial dari kerabat, teman serta tetangga. Sumber non-offisial tersebut merupakan bagian
dari sistem sumber pertolongan alamiah.
3) Sumber manusia dan non-manusia
Sumber
manusia adalah orang-orang yang mempunyai kemampuan dan kekuatan untuk digali
dan dimanfaatkan untuk membantu memecahkan permasalahan klien. Sedang sumber
non-manusia adalah sumber-sumber material atau benda.
4) Sumber simbolik-partikularistik, kongkrit-universal
dan pertukaran nilai
Sumber
simbolik-partikularistik dapat berupa informasi dan status sosial seseorang.
Informasi dan status sosial seseorang di dalam masyarakat mempunyai arti
simbolik yang khusus dan dapat dipergunakan sebagai sumber yang dapat digali
dan dimanfaatkan. Sumber kongkrit-universalistik dapat berupa
pelayanan-pelayanan maupun benda-benda kongkrit. Sedang sumber pertukaran nilai
dapat berupa kasih sayang maupun uang.
Menurut Allen Pincus dan Anne Minahan (1973:4–9)
mengklasifikasikan sumber kesejahteraan sosial ke dalam beberapa jenis:
1.
Sistem
Sumber
Informal (natural resource systems)
Sistem
sumber
informal atau alamiah
dapat berupa keluarga, teman, tetangga, maupun orang lain yang bersedia
membanru. Bantuan yang dapat diperoleh dari sumber alamiah adalah dukungan
emosional, kasih sayang, nasehat, informasi dan pelayanan-pelayanan konkgkrit
lainnya, seperti pinjam uang.
2.
Sistem
Sumber
Formal (formals resource systems)
Sistem
sumber
formal adalah
keanggotaannya di dalam
suatu organisasi atau asosiasi formal yang bertujuan untuk meningkatkan minat
anggota mereka. Sistem sumber tersebut juga dapat membantu anggotanya untuk
bernegosiasi dan memanfaatkan sistem sumber kemasyarakatan atau societal.
3. Sistem Sumber Kemasyarakatan (societal
resource system)
Sistem
sumber kemasyarakatan dapat berupa rumah sakit, badan-badan adopsi,
program-program latihan kerja, pelayanan-pelayanan sosial resmi. Orang didalam
kehidupannya terkait dengan sistem sumber kemasyarakatan, seperti sekolah,
pusat-pusat perawatan anak, penempatan-penempatan tenaga kerja, dan
program-program tenaga kerja. Orang juga terkait dengan badan-badan pemerintah
dan pelayanan-pelayanan umum lainnya, seperti perpustakaan umum, kepolisian,
tempat-tempat rekreasi dan pelayanan perumahan.
Potensi
dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) adalah semua hal yang berharga yang
dapat digunakan untuk menjaga, menciptakan, mendukung atau memperkuat Usaha
Kesejahteraan Sosial (UKS). PSKS dapat berasal atau
bersifat manusiawi, sosial dan alam. Adapun jenis-jenis PSKS antara lain:
1. Tenaga Kesejahteraan
Sosial Masyarakat (TKSM)
Warga masyarakat yang peduli dan komitmen kesejahteraan sosial dan
telah mengikuti program pendidikan dan latihan kesejahteraan sosial atas`dasar
kesadaran dan tanggung jawab sosialnya secara sukarela melaksanakan usaha
kesejahteraan sosial di daerah atau wilayah sendiri. TKSM terdiri dari:
a.
Pekerja Sosial Masyarakat
(PSM)
Warga
masyarakat yang telah
memperoleh atau mengikuti bimbingan dan pelatihan di bidang kesejahteraan
sosial atas dasar kesadaran dan tanggung jawab sosialnya serta didorong
oleh rasa kebersamaan, kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial secara sukarela
mengabdi dibidang kesejahteraan sosial yang bertujuan meningkatkan kemampuan diri untuk
menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.
Kriteria :
1)
Usia sekurangnya 18 tahun
2)
Adanya minat untuk mengabdi dan bekerja
di bidang Kesejahteraan Sosial atas dasar sukarela, rasa terpanggil dan
kesadaran sosial
3)
Telah mengikuti berbagai bimbingan dan
pelatihan bidang Kesejahteraan Sosial
4)
Sebagai tokoh atau ditokohkan masyarakat
5)
Pendidikan sekurang-kurangnya SLTP
b.
Wanita Pemimpin
Kesejahteraan Sosial (WPKS)
Wanita tokoh
masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk memimpin dan melaksanakan kegiatan
usaha kesejahteraan sosial, selain itu telah mengikuti bimbingan dan pelatihan di bidang
kesejahteraan atas dasar kesadaran dan tanggung jawab
sosialnya
yang secara sukarela melaksanakan usaha
kesejahteraan sosial di daerah atau wilayah sendiri.
2. Organisasi Sosial (Orsos)
Menurut Kepmensos No. 40/HUK/1980 yang
dimaksud dengan organisasi sosial (Orsos) adalah lembaga, yayasan atau
perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik berbadan hukum, maupun tidak berbadan hukum yang berfungsi sebagai sarana
partisipasi masyarakat dalam melaksanakan usaha kesejahteraan
sosial.
Kriteria :
a. Mempunyai nama struktur dan alamat organisasi
yang jelas.
b. Mempunyai pengurus dan program kerja.
c. Berbadan hukum atau tidak berbadan hukum.
d. Melaksanakan/mempunyai kegiatan dalam bidang
Usaha Kesejahteraan Sosial (UKS).
3.
Karang Taruna (KT)
Menurut
Departemen Sosial Republik Indonesia, Karang Taruna (KT) adalah organisasi sosial kepemudaan,
wadah pengembangan generasi muda, yang tumbuh atas dasar kesadaran dan rasa
tanggung jawab sosial dari, oleh, dan untuk masyarakat khususnya generasi muda
di wilayah suatu daerah, kelurahan atau
komunitas sosial sederajat, yang bergerak di bidang kesejahteraan sosial dan organisasi berdiri
sendiri.
4.
Dunia Usaha yang Melaksanakan Usaha Kesejahteraan
Sosial
Menurut
Kementerian Sosial Republik Indonesia, Dunia Usaha yang Melakukan Usaha Kesejahteraan Sosial adalah organisasi komersial seluruh
lingkungan industri dan produksi barang atau jasa termasuk BUMN dan BUMD serta
atau wirausahawan beserta jaringannya yang dapat melakukan tanggung jawab
sosialnya. Dunia usaha yang melakukan usaha kesejahteraan
sosial lebih populer dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR), dan
biasa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar di Indonesia, contohnya
Pertamina, Unilever, Telkom, Bank Mandiri, Aqua, Djarum, dan lain sebagainya.
Namun untuk kapasitas di desa, yang biasa melakukan UKS adalah dari jenis
perusahaan kecil menengah seperti perusahaan meubel kayu, perusahaan keripik,
perusahaan genting, dan lain sebagainya.
Ciri-cirinya adalah sebagai berikut : a) Perorangan
atau Keluarga, b)
Dikaderkan
oleh masyarakat setempat, c)
Memiliki
dana, menghimpun dana, mencarikan dana untuk kepentingan kegiatan usaha
kesejahteraan sosial.
5.
Wahana Kesejahteraan Sosial Berbasis
Masyarakat (WKSBM)
Menurut Kementerian Sosial Republik
Indonesia, WKSBM adalah
sistem kerja sama anta keperangkatan kepelayanan sosial diakar rumput yang
terdiri atas usaha kelompok, lembaga maupun jaringan pendukungnya. Wahana ini
berupa jejaring kerja daripada kelembagaan sosial komunitas lokal, baik yang
tumbuh melalui proses alamiah dan tradisional maupun lembaga yang sengaja
dibentuk dan dikembangkan oleh masyarakat pada tingkat lokal, sehingga dapat
menumbuhkembangkan sinergi lokal dalam pelaksanaan tugas di bidang usaha kesejahteraan sosial.
WKSBM
dibangun dalam upaya menggali, menghimpun, mengembangkan dan mengarahkan
sumberdaya yang ada terutama di tingkat lokal untuk mencapai tujuan bersama
dalam mengembangkan masyarakat. Dengan demikian di dalam WKSBM terjadi sinergi sumber
daya yang pada awalnya masih tersebar di
berbagai
keperangkatan pelayanan masyarakat.
Terjadinya
sumber daya yang dimiliki ditingkat lokal dan sistem sumber akan meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk membangun dirinya. Hal ini merupakan iklim yang
kondusif bagi terwujudnya pembangunan masyarakat yang dilandasi oleh
kepercayaan diri dan keswadayaan baik secara sosial, budaya, ekonomi, maupun
politik. Kondisi tersebut selanjutnya akan mewujudkan tata kehidupan dan
penghidupan yang diliputi oleh ketahanan sosial masyarakat.
6.
Keperintisan dan Kepahlawanan Perintis
Kemerdekaan
Perintis kemerdekaan adalah mereka yang telah berjuang mengantarkan bangsa
Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan, diakui dan disyahkan sebagai perintis kemerdekaan.
Janda/duda perintis kemerdekaan adalah isteri/suami yang
ditinggal(meninggal dunia) oleh perintis kemerdekaan dan telah disahkan sebagai
janda, duda perintis kemerdekaan. Keluarga pahlawan
adalah suami/isteri (warakawuri) pahlawan, anak kandung, anak angkat yang diangkat
berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Apabila pahlawan yang bersangkutan
belum/tidak berkeluarga maka yang menjadi keluarga adalah orang tuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar